A. HUKUM ALAM
Aliran hukum alam atau yang biasa disebut mazhab hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu.[1] Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi.[2] Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut.[3] Berdasarkan sumbernya, hukum alam dapat di bedakan dalam dua macam, yaitu:[4] 1. Hukum alam irrasional Aliran hukum alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung.[5] Pendukung aliran hukum alam yang irasional ini antara lain adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe.[6] Thomas AquinasThomas Aquinas adalah seorang rohaniawan gereja Katolik yang lahir di Italia.[7] Pemikiran Thomas Aquinas yaitu ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal, menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.[8] Sekalipun akal manusia tidak dapat memecahkan misteri, ia dapat meratakan jalan menuju pemahaman terhadapnya. Dengan demikian menurut Aquinas ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu pengetahuan alamiah yaitu pengetahuan yang berpangkal pada akal dan pengetahuan iman yaitu pengetahuan yang berpangkal pada wahyu ilahi.[9] Dalam buku-bukunya yang sangat terkenal yaitu Summa Theologica dan De Regimene Principum, Thomas Aquinas membentangkan pemikiran hukum alamnya yang banyak mempengaruhi geraja dan bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga kini, Thomas Aquinas membagi hukum menjadi empat golongan yaitu yang pertama Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala sumber. Rasio ini tidak dapat di tangkap oleh panca indera manusia, yang kedua yaitu lex Divina, bagian daripada rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya, ketiga Lex Naturalis, yaitu hukum alam yang merupakan penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia dan yang terakhir yaitu Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia, hukum positif ini terdiri atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab dan hukum positif yang dibuat oleh manusia.[10] John SalisburySalisbury adalah seorang rohaniawan pada abad pertengahan, ia banyak mengkritik kesewenangan penguasa waktu itu, menurutnya gereja dan negara perlu bekerja sama ibarat hubungan organis antara jiwa dan raga.[11] Dalam menjalankan pemerintahan, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam) sedangkan tugas rohaniawan adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan kepentingan rakyat. Dante AlighieriPada abad pertengahan Jerman maupun Perancis menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus di Roma, Dante amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada gereja, baginya keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkam kepada satu tangan saja yaitu pemerintahan yang absolut.[12] Piere DuboisDubois adalah salah satu filsuf terkemuka Prancis, sama halnya dengan Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa atau raja dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan tanpa perlu melewati pemimpin gereja, bahkan Dubois ingin kekuasaan duniawi gereja (paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja[13] Marsilius Padua dan Wiliam OccamPadua berpendapat bahwa negara berada diatas kekuasaan Paus, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, selain itu juga Padua berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, hukum harus mengabdi kepada rakyat bahkan rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahannya, rakyat boleh menghukum penguasa yang melanggar undang-undang termasuk memberhentikannya, menurut Padua kekuasaan raja bukanlah kekuasaan yang absolut melainkan dibatasi oleh undang-undang.[14] Selanjutnya Wiliam Occam mengatakan bahwa hukum itu adalah identik dengan kehendak mutlak Tuhan.[15] Rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran, pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya John Wycliffe da Johannes HussJohn Wycliffe juga menyoroti masalah kekuasaan gereja. Ia menolak hak-hak paus untuk menerima upeti dari Raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan Ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri, sehingga tidak boleh saling mencampuri.[16] Huss melengkapi pemikiran dari Wycliffe, Huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak milik, karena itu penguasa boleh merampas milik itu apabila gereja salah menggunakan haknya. Menurut Huss, paus dan hirarki gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan, namun gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.[17] 2. Hukum Alam Rasional Tokoh-tokoh pendukung pemikiran aliran hukum alam rasioanal yaitu Hugo de Groot, Samuel von Pufendorf, Christian Thomasius dan Immanuel Kant. a. Hugo de Groot alias Grotius Hugo Grotius adalah seorang humanis yang ternama dalam zamannya. Ia memegang jabatan-jabatan sebagai ahli hukum dan negarawan.[18] Bukunya yang terkenal adalah tentang hukum damai dan perang, lalu buku tentang hukum alut bebas. Judul-judul buku ini memperlihatkan bahwa Grotius berjasa bagi perkembangan hukum terutama hukum internasional.[19] Maka Grotius ini dikenal dengan sebagai Bapak Hukum Internasional. Menurut Grotius sumber hukum adalah rasio manusia, karena karakteristik yang memebedakan manusia dengan mahluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu.[20] Hukum alam menurut Grotius adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia, hukum alam ini tidak mungkin dapat diubah secara ekstrim, bahkan oleh Tuhan sekalipun[21] b. Samuel von Pufendorf dan Christian Thomasius Pufendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan akibatnya ketika manusia mulai hidup bermasyarakat timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus menerus dibuatlah perjanjian sukarela di antara rakyat, baru setelah itu diadakan perjanjian berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu berarti tidak ada kekuasaan yang absolute, semua kekuasaan dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan dan tujuan dari negara yang didirikan.[22] Sementara menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lainnya, karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya baik kedalam maupun keluar.[23] c. Immanuel Kant Kant dikenal sebagai filsafat yang kritis,. Kehidupan Kant dapat dibagi atas dua periode yakni zaman praktisi dan zaman kritis. Dalam zaman praktisi Kant menganut pendirian rasionalistis, namun berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalismenya dan mengubahnya menjadi pandangan yang bersifat kritis.[24] Hukum alam tumbuh di Yunani dan Romawi, perbedaan pokok antara pemikiran yang tumbuh di Yunani dengan pemikiran yang tumbuh di Romawi adalah bahwa pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitik beratkan pada hal-hal yang praktis dan dikaitkan pada hukum positif.[25] Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganut pandangan bahwa negara seharusnya dipimpin oleh para cendikiawan yang bebas dan tidak terikat pada hukum positif tetapi pada keadilan.[26] Buku yang ditulis Plato yang sangat terkenal yaitu Politeia dan Nomoi, di dalam buku Politeia melukiskan suatu model tentang negara yang adil, dimana negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil, sedangkan dalam buku Nomoi, Plato mengatakan bahwa petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa orang-orang kepada kesempurnaan, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku supaya ditulis dalam suatu buku perundang-undangan, kalau tidak penyelewengan dari hukum sulit dihindarkan.[27] Selain Plato pada zaman Yunani dikenal juga filsafat terkenal yaitu Aristoteles. Aristoteles adalah murid dari Plato. Sumbangan Aristoteles yang paling penting terhadap teori hukum adalah formulasi tentang problem esensial dari keadilan, formulasi tentang perbedaan antara keadilan yang abstrak dengan equity dan yang terakhir uraian tentang perbedaan keadilan hukum dan keadilan alamiah (seperti hukum positif dan hukum alam).[28] Tentang formulasi mengenai problem esensial keadilan yang telah disebutkan tadi di atas, Aristoteles membuat perbedaan antara keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif adalah tentang soal pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.[29] Sedangkan keadilan korektif adalah yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari yaitu kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain.[30] Tokoh yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam pada zaman Romawi adalah Cicero. Cicero mengajarkan tentang konsep a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar) serta sesuai dengan alam dan yang menyebar diantara kemanusian dan sifatnya immutable dan eternal.[31] Cicero juga berpendapat bahwa kita lahir untuk keadilan hukum. Hukum tidaklah didasarkan pada opini tetapi pada man’s very nature.[32] Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir di zaman Romawi maka ada salah seorang pemikir Romawi yang terkenal yaitu Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pikiran manusia.[33] Friedmann mengemukakan bahwa meskipun kini tidak mungkin lagi menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi selama sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum dewas ini, sumbangan itu adalah:[34] 1. Berfungsi sebagai instrumen utama di dalam pentransformasian hukum perdata Romawi Kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat cosmopolitan 2. Ia telah menjadi senjata yang digunakan oleh kedua pihak dalam pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran Jerman 3. Atas nama hukum alam lah maka kevaliditasan dan hukum internasional dapat ditegakkan 4. Prinsip-prinsip hukum alam juga telah menjadi senjata dari para hakim Amerika ketika mereka membuat interpretasi terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan cara menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan di bidang ekonomi 5. Hukum alam telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan. Hukum alam dapat dibedakan atas hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode yaitu usaha untuk menciptakan aturan-aturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berbeda-beda, ia tidak mengadung kaidah, tetapi ia hanya mengajarkan bagaiman membuat aturan yang baik, sedangkan hukum alam sebagai substansi merupakan hukum alam yang memuat kaidah-kaidah, ia menciptakan sejumlah besar aturan-aturan yang dilahirkan dari beberapa asas yang absolute sifatnya, yang lazim sikenal sebagai hak asasi manusia.[35] Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran di sekitar abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19,oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut:[36] 1. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil 2. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relative dari hukum dalam setiap situasi 3. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya 4. Hukum adalah suatu struktur yang sedemikian rupa, kita harus mengabstraksikan tujuan-tujuannya pada kehidupan sosial yang nyata 5. Dengan bantuan analisis yang logis, kita akan menemukan asas penyusunan hukum tertentu yang mutlak sah, yang akan memandu dengan aman dalam memberikan pengakuan oleh hukum dan bagaimanakah tujuan tersebut berhubungan satu sama lain secara hukum Kalau mencermati secara seksama mengenai hukum alam yang dikemukan oleh beberapa pakar diatas, maka pada prinsipnya hukum alam bukanlah suatu jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah label yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku universal dan abadi, sebab menurut Friedmann sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolute justice di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan.[37] B. POSITIVISME Positivisme hukum sering dikenal dengan dengan aliran hukum positif, yang mana aliran ini perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral atau dengan kata lain memisahkan antara das sein dengan das sollen. Tokoh-tokoh dalam aliran ini yaitu : John Austin, Hans Kelsen, L.A Hart, dan Auguste Comte. Positivisme hukum dapat dibedakan dalam empat corak, yaitu sebagai berikut: 1. Aliran Hukum Positif Analitis Aliran ini diperkenalkan oleh John Austin pada tahun 1790 sampai dengan tahun 1859. Menurut Austin, hukum adalah perintah dari penguasa Negara, dimana ‘penguasa’ ini merupakan hakekat dari hukum itu sendiri dan hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Bagi Austin, ‘No law no sovereign, and no sovereign, no law’.[38] Selain itu, menurut Austin, hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. [39]Austin membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu: [40] a. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws); dan b. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibedakan lagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1) Hukum yang sebenarnya atau yang dikenal dengan hukum positif, meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum ini memiliki empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignity). 2) Hukum yang tidak sebenarnya yaitu hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Konsep kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menurut ajaran Austin ini menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal. Sifat Eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat internal tercermin pada hukum positif. [41] 2. Aliran Hukum Murni Aliran ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, dan etis. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dengan demikian, hukum yang dipakai itu adalah hukum positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).[42] Pemikiran Hans Kelsen sangat dekat dengan pemikiran John Austin. Yang membedakan adalah Hans Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan John Austin pada Utilitiarisme. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk bukan berurusan dengan isinya atau materi, yang mana bentuknya ditentukan oleh penguasa sebagai pembuat hukum tersebut. Selain itu menurut Hans Kelsen, hukum positif dapat menjadi tidak efektif lagi di dalam masyarakat apabila kepentingan masyarakat yang diatur dengan hukum positif tersebut sudah tidak ada lagi. [43] Terdapat suatu dualisme antara doktrin hukum positif dengan hukum alam. Diatas hukum positif yang tidak sempurna, terdapat hukum alam yang sempurna, yang mana hukum positif hanya teruji kebenarannya hanya sepanjang bersesuaian dengan hukum alam.[44] Peraturan hukum sebagai wujud dari hukum positif merupakan bentuk logis dari hukum alam. Peraturan hukum dalam pengertian deksriptif adalah suatu pertimbangan hipotetik yang melakatkan konsekuensi-konsekuensi tertentu pada kondisi tertentu. Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam yaitu peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan perbuatannya sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan reaksinya. [45] Selain dikenal sebagai pencetus teori hukum murni, Hans Kelsen juga mengajarkan suatu teori yang dinamakan Teori Jenjang (Stufentheorie). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang paling tinggi yaitu norma yang ada di puncak piramida yang dikenal dengan norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang ini kemudian dikembangkan oleh murid Hans Kelsen yang bernama H. Nawiasky. Nawiasky hanya mengkhususkan pembahasannya sebagai norma hukum, dimana sebagai penganut aliran hukum positif, hukum indentik dengan suatu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa. Ajaran dari Hans Kelsen dan Nawiasky inilah yang saat ini dianut oleh sistem hukum yang ada di Indonesia, dimana Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar sistem hukum Indonesia. [46] 3. Positivisme Sosiologis Ajaran ini diinspirasi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte sebagai bapak sosologi moderen mengajarkan bahwa hukum mutlak yang harus hidup bersama dengan manusia dan gejala sosialnya. Menurut Comte, hukum tampak dalam tiga perkembangan yang dilalui oleh masyarakat, yaitu: [47] a. Tahap Teologis, dimana manusia percaya pada kekuatan Tuhan dibelakang gejala alam; b. Tahap Metafisis, dimana terdapat kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran teologis yang kemudian diganti dengan ide abstrak dari metafisika; dan c. Tahap Positif, dimana satu gejala diterangkan dengan gejala lain dengan mendapatkan hukum-hukum antar mereka, yang mana hukum disini saling berhubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain. Selain dari Comte, aliran ini juga diikuti oleh Herbert Spencer. Menurut Spencer, prinsip-prinsip evolusi yang berlaku bagi perkembangan biologis, juga berlaku bagi perkembangan hidup manusia didalam masyarakat.[48] Baik Comte maupun Spencer tidak mengakui adanya hukum selain hukum positif yang dibuat oleh manusia. 4. Esensi Positivistis Yuridis Esensi dari ajaran yang diperkenalkan oleh L.A Hart ini, yaitu: [49] a. Hukum adalah perintah. b. Hukum positif sebagaimana hukum yang diundangkan untuk masyarakat harus dibedakan dengan hukum yang diinginkan atau dicita-citakan. c. Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang menerapkan putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan yang telah ada sebelumnya. d. Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argument yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti. Pandangan positivism Hart tergambar dengan bagaimana Hart melakukan pembedaan pembedaan peraturan menjadi dua macam, yaitu:[50] a. Peraturan Primer Secara umum, masyarakat prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Karena itu kontrol sosial juga ditentukan oleh kebiasaan yang biasa berlaku dalam masing-masing komunitas. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakat prahukum inilah yang oleh Hart disebut sebagai peraturan kewajiban primer. b. Peraturan Sekunder Peraturan sekunder menjelaskan bagaimana peraturan primer itu sendiri. Peraturan ini menjelaskan cara dimana peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukan secara pasti. Menurut Hart, moral menjadi syarat minimum dalam hukum. Hart juga menyadari bahwa positivism hukum mengalami ketertinggalan dari realitas sosial. Terhadap berbagai keterbatasan manusia tersebut, hukum memiliki tanggung jawab yang berfungsi sebagai sistem aturan yang melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar terciptanya kehidupan tertib di tengah-tengah keterbatasan natural. Selain itu hukum juga memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan-tindakan diskresional sebagai jalan keluar dari keterbatasan hukum yang ada. [51] Dari beberapa ajaran aliran positivism dapat disimpulkan bahwasanya aliran positivism hukum ini hadir untuk memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Hans Kelsen dalam padangan hukumnya berhasil mematematiskan rumusan sebuah aturan hukum dalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanya hukuman. Walaupun sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangat berguna yang dapat digunakan oleh para praktisi untuk mengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi Kelsen mengarahkan untutuk menjauh dari gagasan bahwa hukum itu terdiri dari proses-proses yang terkait dengan manusia. Meskipun ajaran positivisme hukum menguasai praktek hukum saat ini, tetapi ajaran ini tidak lepas dari kritik atas sifatnya yang kaku dan formalistik. Namun kenyataannya pada saat ini, hukum tidak hanya menyangkut manusia saja, tetapi semua hal yang berhubungan dengan kehidupan di jagad raya. Pemisahan tegas antara hukum dan moral oleh positivism hukum secara keseluruhan memiliki sisi positif dan negative. Hukum adalah produk rasional dan modal meskiupun masuk kedalam, hukum harusnya dibangun dengan argumentasi yang rasional dan verifikatif. Hukum harus berkompeten dan juga adil serta mampu mengenali keinginan masyarakat dan mempunya komitmen terhadap tercapainya keadilan yang substantif. Tanpa mengenyampingkan pluralism hukum, kondisi negara moderen memang keberadaan positivisme hukum adalah sebuah keniscayaan. C. UTILITARISME Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum, yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik atau buruk dan adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.[52] Tokoh-tokoh utama aliran utilitarianisme dan pemikirannya adalah: 1. Jeremy Bentham (1748-1832) · Seorang filsuf utilitarian Inggris, ahli ekonomi dan ahli hukum teoritis. · Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual. · Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham adalah sebagai berikut:[53] a. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. Prinsip utiliti Bentham berbunyi ”the greatest heppines of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang). b. Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama. c. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat, maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan: - To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); - To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); - To provide security (untuk memberikan perlindungan); - To attain equity (untuk mencapai persamaan). · Arti penting pemikiran Bentham dalam sejarah filsafat hukum sebagai berikut, bahwa Bentham:[54] a. Menghubungkan dasar pemikiran filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis; b. Meletakkan individualisme atas dasar materialistis baru; c. Menghubungkan hak-hak individu yang tahu diri dan menempatkannya di bawah kebahagiaan sejumlah besar individu-individu dengan tuntutan yang sama yang hidup dalam masyarakat; d. Mengarahkan tujuan-tujuan hukum pada tujuan-tujuan sosial praktis, bukannya pada dalil-dalil yang abstrak; e. Meletakkan dasar untuk kecenderungan relativitas baru dalam ilmu hukum, yang dikemudian hari disebut ilmu hukum sosiologis dan menghubungkan hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang pasti dan keseimbangan dari pelbagai kepentingan; f. Memandang jaminan keamanan sebagai objek hukum yang penting, sebagai fungsi yang dikembangkan, untuk tidak menghiraukan orang-orang lain, dengan positivisme analitis; g. Memberi tekanan pada kebutuhan dan mengembangkan cara pembentukan hukum yang disadari, dengan kodifikasi melalui pengadilan atau evolusi melalui kebiasaan. 2. John Stuar Mill (1806-1873)
b. Menurut Mill, utilitarianisme versi Bentham memiliki beberapa kelemahan, karena ia didasarkan pada suatu sistem yang mengidentifikasi ‘baik’ dengan kesenangan dan ‘buruk’ dengan kesakitan, tanpa melakukan spesifikasi terhadap sifat kesenangan dan kesakitan tersebut. Versi Bentham juga mengasumsikan bahwa manusia itu sangat rasional sehingga mereka selalu mengikuti kalkulasi moral. c. Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. d. Menurut Mill, kesenangan spiritual dan persahabatan intelektual adalah lebih bernilai daripada kepuasan fisik. Dengan demikian, sebagian kesenangan adalah lebih bernilai dan lebih tinggi daripada sebagian lainnya. Mill berkata, “Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada menjadi seorang tolol yang puas” 3. Rudolf von Jhering (1800-1889) · Dikenal sebagai penggagas teori Sosial Utilitarianisme atau Interessen Jurisprudence (kepentingan). · Teorinya merupakan penggabungan antara teori Bentham dan Stuar Mill dan positivisme hukum dari John Austin. · Keseluruhan ajaran Jhering tentang hukum dapat disimpulkan dalam beberapa butir: a. Jhering menolak pandangan von Savigy yang berpendapat bahwa hukum timbul dari jiwa bangsa secara spontan. Menurut Jhering: - Contoh, Hukum Romawi, dapat dikaterisir sebagai suatu System des disciplin Egoismus (sistem egoisme yang berdisiplin). Disini hukum digabungkan dengan egoisme bangsa. Penggabungan itu dianggap berguna bagi bangsa yang dapat diterima sebagai hukum. Jadi Jhering menganut positivisme utilistis. - Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan negara. Jhering mengakui ada pengaruh jiwa bangsa, tetapi tidak spontan, yang penting bukan jiwa bangsa, tetapi pengelolaan secara rasional dan sistematis, agar menjadi hukum positif. b. Pengelolaan hukum dinamai Jhering dengan istilah Teknik Hukum. Teknik Hukum ini tidak hanya diperhatikan materi atau isi kaidah-kaidah hukum, melainkan memperhatikan segi formalnya. Teknik hukum adalah metode yang digunakan pakar-pakar hukum untuk menguasai hukum positif secara rasional, dengan tujuan agar hukum dapat diterapkan secara tepat pada perkara-perkara konkret. Rasionalisai hukum dalam teknik hukumnya Jhering itu berlangsung dua tahap: 1) Penyerdehanaan bahan hukum dari sudut kuantitas. Bermaksud demi rasionalisasi hukum, maka kaidah-kaidah hukum sedapat mungkin dikurangi jumlahnya. Caranya adalah: - Analisis yuridis: bahan hukum dipelajari isinya. - Konsentrasi logis: bahan hukum dipandang dalam lingkup ide-ide tertentu. - Sistematis yuridis: bahan hukum diberi suatu aturan yang tepat. - Penetuan terminoligis: dicari terminologi yang cocok bagi ilmu hukum. - Ekokomi yuridis: jumlah aturan semaksimalnya dikurangi. Tinjauan ekonomi ini menguasai seluruh proses ini, yakni diusahakan untuk menghemat pikiran. 2) Penyederhanaan bahan hukum dari sudut kualitas. Rasionalisasi kedua ini bahwa hukum ditingkatkan menjadi ide-ide dan institusi-institusi hukum. Caranya adalah: - Mencari aturan intern tata hukum. Ditujukan pada suatu pengertian menyeluruh tentang tata hukum tertentu. - Mempertimbangkan kualitas dan nilai bagian-bagian tata hukum untuk dapat sampai pada suatu keseimbangan antara bagian-bagian itu. Teknik hukum tersebut, khususnya yang kedua, menjadikan bahan hukum bersifat rasional semata, logis dan abstrak. Karena itu ajaran Jhering ini dinamai begriffjurisprudenz (keahlian hukum berdasarkan logika). Tetapi, kemudian Jhering meninggalkan begriffjurisprudenz dan berganti pandangan bahwa yang menentukan dalam hukum, bukanlah ide-ide rasional, melainkan kepentingan masyarakat. Dengan ini teorinya beralih ke interssenjurisprudenz (keahlian hukum berdasarkan kepentingan sosial). Hal ini tampak dari pendapatnya bahwa esensi hukum yang tercermin dalam tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut, termasuk memperkecil kemungkinan terjadinya konflik. Di bawah hukum, kepentingan-kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan jika terjadi konflik dengan kepentingan individu. Kebutuhan manusia sebagai warga masyarakat mendominasi konsep-konsep hukum Jhering. c. Menurut Jhering bahwa hukum adalah seperangkat kondisi-kondisi kehidupan sosial dalam pengertian yang sangat luas yang ditegakkan oleh kekuasaan negara melalui usaha paksaan dari luar. Paksaaan dan kekuasaan merupakan unsur esensial hukum, dalam hubungan ini Jhering mengemukakan bahwa aturan hukum membutuhkan kekuasaan, tanpa itu aturan-aturan bagikan api yang tidak panas. d. Jhering memandang esensi hukum merupakan kehendak nyata untuk melindungi kepentingan kehidupan bersama dan kepentingan individu, melalui kordinasi, kemungkinan konflik bisa diperkecil. Di bawah hukum, kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan. e. Jhering memandang bahwa aktivitas kemasyarakatan diri warga masyarakat seharusnya dikorbankan dan ini hanya mungkin tercapai melalui asas-asas gerak sosial (social motion). Gerak sosial ini mendapat dua jenis pengaruh: 1) Pengaruh egoistis. Pengaruh egoistis ini dari imbalan dan paksaan, dapat digunakan untuk mengorbankan aktivitas kemasyarakatan berupa: - Kegiatan perdagangan melalui paham mementingkan diri sendiri demi keuntungan pribadi, seperti memberi hadiah. - Implikasi perlakuan unsur paksaan membuat ide hukum dan negar dapat dilaksanakan. 2) Pengaruh altruistik, terdiri dari: - Extra legal seperti aspek makanan. - Mixed legal, yaitu aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan hukum paksaan, misalnya self preservation. - Purely legal, yaitu aspek-aspek kehidipan yang berhubungan secara keseluruhan dengan perintah-perintah hukum, misalnya membayar pajak. Kombinasi penggunaan kedua pengaruh di atas, memungkinkan tercapainya tujuan sosial. Hasilnya adalah bahwa masyarakat dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. D. HUKUM MURNI Hans Kelsen (1881-1973)[55] Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsusr sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal sebagai Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenskategorie (Kategori Keharusan/ideal), bukan Seinskategorie (Kategori faktual), yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum). Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada. Kelsen juga dianggap berjasa mengembangkan Teori Jenjang yang dikemukakan oleh Adolf Merkl. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak pula sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut Kelsen dengan nama Grundnorm (Norma Dasar) atau Ursprungnorm. E. HISTORISME Mahzab Sejarah[56] Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah. Kelahiran mazhab yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum Perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif[57] . Mahzab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nichtgemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran mahzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat. Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia. [58] Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum, tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-undangan sebagai sumber hukum [59]. Inti ajaran Mahzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum), antara lain dikatakan: 'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).[60] Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volkgeist (jiwa rakyat) yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya. Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:[61] 1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan. 2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang. 3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata[62]. Baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang- undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch[63]. Di Indonesia pun pengaruh ajaran mahzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis. Namun akhirnya, ajaran madzab sejarah ini mengalami improvisasi di tangan pengikutnya sendiri yakni Sir Henry Maine (1822-1888) yang dalam bukunya "Ancient Society" mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Hukum sendiri pada masyarakat ini berkembang melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan. Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk membedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengenyampingkan peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju[64]. Jadi Maine membedakan adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui 3 cara yaitu: "fiksi, equity, dan perundang-undangan. Selanjutnya, bagi Maine, Volgeist bukanlah sesuatu yang mistik. 0leh karena Maine mencermati bahwa dalam perjalanan kehidupan masyarakat terdapat perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak[65]. Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis[66]. Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan ("preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya "pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.[67] Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni [68]: 1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan); 2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak; 3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa. F. SOSIOLOGIS Aliran ini hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan Sosiologi Hukum. Sosiologi Hukum yakni bagian dari Ilmu Tentang Kenyataan Hukum yang membahas perihal hubungan timbal balik antara masyarakat dan hukum dalam rangka saling pengaruh-mempengaruhi.[69] Menurut Roscoe Pound dalam kata pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul “Sosiologi Hukum” perbedaan diantara keduanya ialah bahwa kalau sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mahzab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut disamping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dengan kata lain kalau sociological jurisprudence cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum.[70] Sedangkan perbedaannya menurut Lily Rasjidi adalah:[71] 1. Sosiological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi 2. Walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sosiological Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum. Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah bahwa sosiologi hukum berusaha menciptakan ilmu mengenai kehidupan sosial sebagai suatu keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara umum) dan ilmu politik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan sociological jurisprudence menitik beratkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Menurut aliran sociological jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis) Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa, sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Aliran sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.[72] 1. Eugen Ehrlich (1862-1922) Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran sociological jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah ahli hukum dari Australia dan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut sosiologi. Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di lain pihak. Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Di sini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut Positivisme Hukum. Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti yang dikatakan Friedmann, dalam karyanya, Ehrlich pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam system hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan system hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup. Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan Von Savigny. Hanya saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan sosial daripada istilah volkgeist sebagaiman yang digunakan Savigny. Kenyataan-kenyataan sosial yang anormatif itu dapat menjadi normatif, sebagai kenyataan hukum atau hukum yang hidup yang juga dinamakan Ehrlich dengan Rechsnormen, melalui empat cara. Hujibers menyebut empat cara itu dengan kebiasaan, kekuasaan eketif, milik efektif, dan pernyataan kehendak pribadi. Friedmann membentangkan tiga kelemahan utama pemikiran Ehrlich karena keinginannya meremehkan fungsi Negara dalam pembentukan undang-undang; 1. Ehrlich tidak memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukum dengan norma sosial yang lain. Akibatnya, teori sosiologi dari Ehrlich dalam garis besarnya merupakan sosiologi umum saja. 2. Ia meragukan posisi kebiasaan sebagai sumber hukum dan sebagai suatu bentuk hukum. Pada masyarakat primitive posisi kebiasaan ini sangat penting sebagai sumber dan bentuk hukum, tetapi tidak demikian lagi pada masyarakat modern. Pada masyarakat modern, posisi tersebut digantikan dengan undang-undang, yang selalu dengan derajat bermacam-macam bergantung pada kenyataan-kenyataan hukum, namun berlakunya sebagai hukum tidak bersumber pada ketaatan faktual ini. Friedmann menyatakan kebingungan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich. 3. Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan antara norma hukum negara yang khas dan norma hukum dimana Negara hanya memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan sosial. Norma yang pertama melindungi tujuan khusus Negara, seperti kehidupan konstitusional, serta keuangan dan administrasi. Dalam masyarakat modern, norma ini terus bertambah banyak, sehinga menuntut pengawasan yang lebih banyak dari negara. Konsekuensinya, peranan kebiasaan terus berkurang, bahkan sebelum pembuatan undang-undang secara terinci. Sementara itu, undang-undang yang dikeluarkan pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan masyarakat sama banyaknya dengan pengaruh pada dirinya sendiri. Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul Grubdle-gung der Soziologie des Rechts. 2. Roscoe Pound (1870-1964) Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui masyarakat. Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut: a. Kepentingan umum (public interest): 1. Kepentingan Negara sebagai badan hukum 2. Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. b. Kepentingan masyarakat (social interest): 1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban 2. Perlindungan lembaga-lembaga sosial 3. Pencegahan kemerosotan akhlak 4. Pencegahan pelanggaran hak 5. Kesejahteraan sosial. c. Kepentingan pribadi (private interest): 1. Kepentingan individu 2. Kepentingan keluarga 3. Kepentingan hak milik Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal; 1. Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari Von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan kearah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Memang, penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan Von Jhering. Karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound sebenernya dapat pula digolongkan sebagai penganut Utilitarianisme sebagai penerus Jhering dan Bentham. 2. Klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya. Karya Roscoe Pound sangat banyak jumlahnya, dan beberapa telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti: Pengantar Filsafat Hukum dan Tugas Hukum. Beberapa karangannya antara lain berjudul The History and System of the Common Law, Social Control through Law, Justice According to Law. Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. G. ANTROPOLOGIS Antropologi merupakan kajian atau ilmu yang terpisah dari hukum. Secara harfiah, antropologi berarti “the study of man” (studi tentang manusia, muncul sekitar abad ke-19. Salah satu objek kajian utama dari antropologi adalah kultur.[73] Menurut pandangan antropologi, hukum mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk “survival” dan juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar. Sampai dengan awal abad ke-20, orang menafsirkan hukum dalam arti sempit. Masyarakat dan rakyat primitif yang tidak mempunyai hukum formal, pengadilan, polisi, penjara dianggap tidak mempunyai kelengkapan yang diperlukan untuk bisa disebut sebagai masyarakat yang mempunyai “hukum”. DIakui mereka memiliki kebiasaan, tapi ini dianggap lebih drendah dari hukum. Radcliffe-Brown mengartikan hukum sebagai “kontrol sosial melalui penerapan sistematis kekuatan masyarakat yang diorganisasikan secara politik.”.[74] Para antropolog mempunyai pengertian tersendiri tentang apa yang mereka pandang sebagai hukum, yaitu antara lain :
Ada beberapa ajaran yang beraliran antropologis terhadap hukum yang patut dikemukakan esensi ajaran-ajaran berikut ini, yaitu ajaran dari pakar-pakar sebagai berikut : 1. Esensi Ajaran Malinowski Malinowski membahas hukum dalam masyarakat liar. Hukum Melanesia merupakan salah satu lapangan studinya. Malinowski menulis tentang pranata-pranata sebagai kelompok yang disatukan dalam kewajiban-kewajiban umum, yang menggunakan suatu bentuk yang pantas dari aparat dan membutuhkan suatu mekanisme dari pelaksanaan hukum yang didasarkan pada unsur-unsur yang bersifat timbal balk dan pengaruh yang sistematis dari kewajiban-kewajiban hukum.[76] Studi Malinowski terhadap masyarakat di kepulauan Trobiands membuatnya menyatakan bahwa adalah suatu pendapat yang keliru untuk mendefinisikan hukum dalam kerangka “kekuasaan sentral, peraturan, pengadilan, dan polisi. Masyarakat Trobiands cuup tertib tanpa adanya hal-hal tersebut.[77] 2. Esensi Ajaran Hoebel Hoebel menegaskan tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum (lawless tribal society).[78] Ada 3 unsur esensial sebagai kriteria untuk mengidentifikasi yang mana yang termasuk fenomena hukum : - Keteraturan hidup (regurality). - Otoritas pejabat (official authority). – Sanksi Menurut Hoebel, hukum melakukan fungsi yang esensial untuk mempertahankan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah (Hoebel, 1967 : 275 – 287) :[79] a) Mendefinisikan hubungan-hubungan antara anggota-anggota masyarakat, untuk menetapkan hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak,sebagai usaha untuk mempertahankan integrasi minial dari kegiatan antar individu dan kelompok dalam masyarakat. b) Keharusan untuk menjinakkan kekuasaan yang bersifat telanjang dan mengarahkannya dalam rangka mempertahankan ketertiban. c) Penyelesaian sengketa-sengketa yang muncul. d) Mendefinisikan kembali hubungan-hubungan antar individu-individu dan kelompok-kelompok pada saat kondisi kehidupan mengalami perubahan Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kemampuan beradaptasi. 3. Esensi Ajaran Gluckman[80] Gluckman mengkhususkan pada studi tentang proses peradilan di Barotse, yaitu suku bangsa Lozi yang proses peradilannya didasarkan pada kebiasaan, moralitas, kebijakan umum, dan suatu jenis perundang-undangan. Fungsi pokok dari proses peradilan bagi Bangsa Lozi adalah untuk melaksanakan hukum pada keadaan untuk mempertahankan kemapanan dan memunculkan sejumlah nilai-nilai. 4. Esensi Ajaran Paul Bohannan[81] Paul Bohannan berpandangan bahwa seluruh kaedah hukum berasal dari kaidah hukum lain yang sudah ada sebelumnya, tidak ada kaidah hukum yang langsung lahir sebagai kaidah hukum. Bagi Bohannan, hukum sebaiknya dipikirkan sebagai seperangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dipandang sebagai hak oleh suatu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh pihak lain, dan yang telah dilegitimasi kembali (double legitimacy) dalam pranata-pranata hukum agar masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara tersebut. Menurut Bohannan, hukum adalah kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali (reinstutionalization) untuk memenuhi tujuan yang lebih terarah dalam kerangka yanga pa disebut hukum.[82] 5. Esensi Ajaran Leopold Pospisil[83] Bagi Pospisil, (Ihromi, 1984: 66-67), pemikiran hukum dari aspek antropologis harus memperhatikan lima butir :
H. REALISME Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat control sosial. Pangkal pikiran dari mazhab ini bertitik tolak pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum.[84] Akar realisme hukum adalah empirisme, khususnya pengalaman-pengalaman yang dapat ditimba dari pengadilan. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semuanya adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Menurut Llewellyn, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum. Ciri-ciri dari realism yang terpenting diantaranya : · Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab, tetapi adalah gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum. · Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan social. · Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suat penyelidikan. · Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional. Realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada yang terdapat pada praktik masa lampau. · Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya. Dengan demikian, Realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Realisme dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Persamaan keduanya menurut Friedmann[85] adalah semata-mata verbal. 1. Realisme Amerika Realisme Amerika adalah hasil pendekatan pragmatis dan paling sopan pada lembaga-lembaga sosial. Realisme Amerika menekankan bekerjanya hukum tetapi kurang memperhatikan dasar hukum transcendental. Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Hakim sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan. Pragmatic Legal Realism dimasukkan dalam Realisme Amerika karena sikap pragmatism yang terkandung dalam realism lebih banyak muncul di Amerika. Adapun tokoh-tokoh Realisme Amerika, antara lain adalah Charles Sanders Peirce, John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr, William James, John Dewey, B.N. Cardozo dan Jerome Frank. Charles Sanders Peirce (1839-1914) Pierce disebut sebagai orang pertama yang memulai pemikiran ini. Pragmatisme menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoretis yang benar, karena itu ide-ide perlu diselidiki dalam praktik hidup. Menurutnya ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis harus digunakan secara fungsional, karena itu kata pragmatis dipakai oleh pierce dalam arti empiris atau eksperimental. Karya Pierce antara lain berjudul Pragmatism and Pragmaticism John Chipman Gray (1839-1915) Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya. Semboyannya “All The Law is Judge-made-law”. Menurutnya selain logika sebagai faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum. Dengan demikian Gray memelopori cara pendekatan yang tidak semata-mata pada factor logika saja tepai juga faktor lain di luar logika. Karangan Gray antara lain berjudul The Nature and Sources of Law. Oliver Wendell Holmes, Jr (1841-1935) Pandangan Gray ditegaskan lebih lanjut oleh Holmes yang memberikan suatu perumusan tentang hukum yang didasarkan pada pengalaman dan meragukan peranan logika.. Menurutnya ramalan tentang apa yang sesungguhnya akan diperbuat oleh pengadilan-pengadilan dan bukan hal-hal yang muluk-muluk itulah yang dinamakan dengan hukum. Disamping norna-norma hkum bersama tafsirannya, moral hidup dan kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim. Karya terpentingnya antara lain berjudul The Path of Law. William James (1842-1910) Menurutnya pragmatism adalah nama baru untuk beberapa cara pemikiran yang sama, yang sebenarnya juga positivis. William James adalah tokoh utama dalam filsafat Pragmatisme. Seorang pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara verbal sistem tertutup dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia menentang kelengkapan dan kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan. Suatu keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari dogma, kepalsuan dan anggapan final dari kebenaran. Karya penting dari James berjudul The Meaning Of The Truth dan Varietes Of Religious Experience. John Dewey (1859-1952) Dewey termasuk salah satu peletak realisme dalam hukum. Inti ajaran Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip teoritis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dalam mana prinsip umum hanya bisa dipakai sebagai alat yang dibenarkan atas pekerjaan yang dikerjakan. Jika diterapkan pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip umum yang sebelumnya telah diletakan harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes. Ahli hukum tidak mengambil konklusi-konklusinya dari prinsip-prinsip umum. Karena ahli hukum belajar lebih banyak dari fakta dalam kasus. Maka ia dapat memilih ketentuan-ketentuan hukun yang diterapkan dalam kasus. Premis dan kesimpulan adalah dua cara untuk menyatakan hal yang sama. Dengan demikian hukum adalah proses eksperimental dimana faktor logika hanya salah satu dari faktor yang utama untuk menarik kesimpulan. Pemikiran yang eksperimental dan fleksibel dalam hukum dapat mengubahnya menjadi alat yang tetap, aman dan masuk akal untuk perbaikan sosial. Karya dari Dewey antara lain logic, the theory of inquiry dan my philosophy of law. Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938) Cardozo sangat terpengaruh oleh teori-teori ilmu hukum sosiologis, yang menekankan pada kepekaan yudisiil terhadap realitas sosial. Ia beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam melaksanakan peradilan.[86] Adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan yang ketat disebabkan penganutan terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan kesejahteraan sosial. Doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi. Sehingga hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusan hakim itu dengan kepentingan umum. Cardozo beranggapan, kekuatan sosial mempunyai pengaruh instrumental terhadap pembentukan-pembentukan hukum, misalnya logika, sejarah, adat istiadat, kegunaan, dan standar moralitas yang diakui. Menurutnya dengan adanya standar yang diakui masyarakat serta pola nilai-nilai objektif merupakan suatu tanda adanya kesatuan serta konsistensi dalam hukum., walaupun adanya keputusan subjektif dari pada hakim tidak dapat dicegah dalam semua kasus yang dihadapi. Perkembangan hukum sebagai gejala sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai adat istiadat dan moralitas. Prinsip-prinsip sosiologis, menurut Cardozo dalam buku the nature of judicial process (1921) harus senantiasa dipergunakan agar hukum selalu serasi dengan kebutuhan sosial dan cita-cita tertib sosial yang kontemporer. Karya lain dari Cardozo berjudul the growth of the law dan paradoxes of legal science. Jerome Frank (1889-1957) Frank adalah salah seorang penganut pemikiran Holmes. Menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Dalam aturan tetap norma-norma hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, hakim kemudian menjatuhkan putusannya. Menurut Frank, manusia zaman sekarang tahu bahwa hukum sebenarnya hanya terdiri dari putusan-putusan pengadilan yang tergantung dari banyak faktor. Menurutnya norma-norma hukum yang berlaku memang mempengaruhi putusan hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah saru pertimbangan saja. Sama dengan Gray, Frank berpendapat, unsur-unsur lain, seperti prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan simpati dan antipati pribadi, ikut berperan dalam putusan tersebut. Norma hukum dilukiskan sebagai suatu generalisasi fiktif dari kelakuan para hakim. Tulisan dari Frank antara lain berjudul Law and the modern mind dan court on trial. 2. Realisme Skandinavia Skala Realisme Skandinavia lebih luas daripada realisme Amerika karena pusat perhatiannya bukanlah para fungsionaris hukum (khususnya hakim), tetapi justru orang-orang yang berada dibawah hukum. Realisme Skandinavia banyak menggunakan dalil dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya. Realisme Skandinavia adalah kritik falsafah atas dasar-dasar metafisis dari hukum. Realisme Skandinavia bercorak kontinental dalam pembahasan kritis, dan sering sangat abstrak. Kalau di Amerika para realis hukum berasal dari kalangan praktik maupun pengajaran, maka di Skandinavia meraka mendekati tugasnya pada peringkat yang lebih abstrak, dengan dasar pendidikan sebagai filsuf. Ciri-ciri gerakan Realisme Skandinavia adalah :
Penganut aliran realisme hukum dari Skandinavia adalah Axel Hegerstrom, Olivecrona, Lundstet dan Ross yang secara tegas menolak metafisika hukum, dengan membela nilai-nilai yang dapat diverifikasi secara ilmiah atas gejala hukum yang faktual. Disisi lain aliran ini juga menolak ajaran Positivme Hukum dari John Austin, karena menurutnya, John Austin membiarkan begitu saja tanpa penjelasan terhadap berbagai karakteristik yang hakiki dari hukum.
Perkembangan hukum menurut Ross melewati 4 tahapan, yaitu: 1. hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual. 2. Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggal. 3. Hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar, ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. 4. Supaya hukum berlaku harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya. 4. Herbert Lionel Adolpus Hart[91] Ia mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek ekstern maupun internnya. Dari ekstern berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan oleh Austin, sedangkan aspek intern yaitu keterkaitan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah. Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati kerena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral. 5. Julius Stone[92] Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial, yang dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimana telah dipraktikkan dalam mashab hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi, Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Padangan Stone tentang hukum tidak jauh berbeda dengan Hart, ia berpendapat bahwa hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan baik yang mengandung aspek moral maupun tidak. 6. John Rawls[93] Adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawis mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawis banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme. I. CRITICAL LEGAL STUDIES Teori kritis pertama kali dikembangkan oleh mazhab Frankfurt yang dipelopori oleh para sarjana berhaluan kiri yang merupakan anggota dari Institute for Social Research University of Frankfurt. Kemudian teori kritis ini berkembang ke berbagai bidang ilmu, termasuk Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) dan Teori Ras Kritis (Critical Ras Theory) yang merupakan perkembangan berikutnya dari CLS. Dasar pemikiran Gerakan Studi Hukum Kritis dari aliran positivisme hukum, karena pemikiran hukum gerakan studi hukum kritis merupakan serangan terhadap sistem hukum modern yang banyak didominasi oleh aliran positivisme hukum. Pada abad XX muncul perkembangan adanya kritikan kritikan terhadap ilmu pengetahuan, namun para filsuf tetap berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kebenaran. Dalam situasi ini muncul aliran neopositivisme yang menitikberatkan pada logika dan hubungan antara logika dan bahasa dengan mempertahankan prinsip positivisme yaitu menolak segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Di Amerika Serikat Neopositivisme Hukum bersanding dengan pragmatisme yang lebih dikenal dengan Positivisme Pragmatisme. Pragmatisme ini dikaitkan dengan sikap pragmatis dan dianggap sebagai sikap realistis yang cukup diterima di Amerika dan kemudian populer dengan Realisme Hukum (Legal Realism). Kemunculan aliran realisme ini tidak sepenuhnya menentang aliran positivisme hukum, namun masih berpegang pada prinsip Positivisme Hukum oleh karenanya menjadi Neopositivisme Hukum. Pada perkembangannya sebagian orang menganggap Realisme Hukum masih konvensional dan akhirnya mencari alternatif lain dalam mengkaji hukum. Salah satu pemikiran yang muncul dalam mengkritisi kondisi tersebut adalah gerakan yang kemudian dikenal dengan Gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies). Gerakan Studi Hukum (CLS) berawal dari pertemuan kecil di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat pada tahun 1977. Pertemuan ini diberi nama Conference on Critical Legal Studies, dengan inisiator Roberto Mangabeira Unger dan Duncan Kennedy sebagai figur utama gerakan CLS, disamping nama-nama lainnya sebagai pengembang pemikiran CLS.[94] CLS merupakan organisasi nasional para pemikir. Aktivitas gerakan CLS terdiri dari praktisi hukum, professor dan mahasiswa, ilmuwan sosial dan pihak lain yang memiliki komitmen atas pengembangan perspektif teori kritis terhadap hukum, praktik hukum dan pendidikan hukum. Studi Hukum Kritis (CLS) bukan merupakan aliran pemikiran hukum, melainkan gerakan dalam pemikiran hukum. Sekalipun gerakan ini belum begitu diakui sebagai salah satu aliran atau mazhab dalam pemikiran hukum, namun kehadirannya memperkaya kajian dalam bidang hukum dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru semacam Feminist Jurisprudence dan Critical Race Theories. CLS mencoba mempengaruhi realitas sosial. Bagi critical studies kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan, sebagai cara untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini CLS menggunakan metode:
Kelebihan Dan Kekurangan Critical Legal Studies Kelebihan CLS terdiri dari berbagai pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum yang bercirikan marxian ortodok sampai post-modern. Kesepahaman dari pemikiran-pemikiran tersebut yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkis, dan didominasi oleh kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial. Kelebihan utama CLS adalah mampu memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkis, yang diwujudkan dalam bentuk analisis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif. Kelebihan lainnya antara lain: - Adanya pemikiran-pemikiran yang berasal dari banyak ahli hukum dari yang bericirikan marxian ortodok sampai pemikiran post-modern. - Adanya kesepahaman seperti ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan merombak struktur sosial. - Pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Sedangkan kelemahannya antara lain: - apabila pemikiran kritis tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaannya maka kritisme dapat berujung pada nihilisme (lingkaran kritik tanpa ujung) sehingga melupakan tugas praktis pada masyarakat. - apabila dari sifat asli pemikiran kritis dalam dirinya sendiri selalu melakukan dekonstruksi, yang menyebabkan perubahan dan gejolak selalu terjadi. Sementara realitas masyarakat lebih mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama, dan memilih perubahan yang tidak terasa. Kelemahan-kelemahan ini mengakibatkan CLS sangat sulit menjadi yang paling utama dalam pembangunan hukum. Tugas utama CLS adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan orang lain. Perkembangan Critical Legal Studies Di Indonesia CLS di kalangan hukum sendiri dianggap baru. Awalnya CLS digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Sudah saatnya pemikiran-pemikiran CLS juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun dan menerapkan hukum di Indonesia untuk menghadapi masa transisi dari kekuatan-kekuatan yang coba mendominasi baik dari dalam negeri maupun kapitalis internasional. Pemikiran CLS mempengaruhi pemikiran ahli hukum Indonesia. Kajian-kajian hukum CLS sangat diperlukan untuk mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di Indonesia. Penggunaan CLS untuk menganalisis hukum di Indonesia mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru karena pada masa ini dapat dilihat kepentingan ekonomi dan politik lebih dominan dalam tata hukum. Penggunaan CLS di Indonesia tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia dan atau faktor agama. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kualalumpur: Law Book Series,1994. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008. Erwin, Muh. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 2011. Halim, Pdt. A. Ridwan. Filsafat Hukum Indonesia dan Pragmatisasinya. Angky Pelita Studyways, 2001. Huijebers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1982. Kelsen, Hans. Teori Umum Hukum dan Negara Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Diterjemahkan oleh Soemardi. Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007. Lembaga Penelitian dan Kriminologi. Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta, 1976. Rasjidi, Lili. Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cet.7 Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Mangesti, Yavita A dan Bernard L. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2014. Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Cet 5. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990. __________. Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?. Cet.5. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Alumni, 1986. Ujan, Andre Uta. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisisus, 2009. W, Friedman. Teori & Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II). Diterjemahkan oleh Muhammad Arifin. Cet.2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994. Internet Zulkarnain. “Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah,” http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1561/1/fh-zulkarnain.pdf ., diunduh 10 Maret 2016. Lain-lain Hikmahanto Juwana. “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju.” Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2001. [1] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 103. [2] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, cet 5, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 27. [3] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, loc.cit. [4] Lili Rasjidi, op.cit. hlm. 29. [5] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 104. [6] Ibid. [7] Theo Huijebers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1982), hlm. 39. [8] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 105. [9] Ibid. [10] Rasjidi, op. cit. hlm. 30. [11] Darmodiharjo, op. cit. hlm. 106. [12] Ibid., hlm. 107. [13] Ibid., hlm. 108. [14] Ibid., hlm. 109. [15] Rasjidi, op. cit., hlm. 31. [16] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 110. [17] Ibid. [18] Theo Huijebers, Op, Cit, hlm. 58. [19] Ibid. [20] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 111. [21] Ibid [22] Ibid. [23] Ibid., hlm. 112. [24] Ibid. [25] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 83. [26] Ibid, hlm. 84. [27] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 48. [28] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op, Cit, hlm. 85. [29] Ibid. [30] Ibid., hlm. 86. [31] Ibid., hlm. 87. [32] Zainuddin Ali, Op, Cit, hlm. 49. [33] Ibid. [34] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op, Cit, hal 89. [35] Ibid., hlm. 89-90. [36] Zainuddin Ali, Op,Cit., hlm. 52. [37] Ibid., hlm. 53. [38] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm. 99. [39] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, op.cit., hlm. 114. [40] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Loc.Cit. [41] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Loc.Cit. [42] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 115. [43] Ibid., hlm. 116. [44] Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, diterjemahkan oleh Soemardi, (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007) hlm. 13. [45] Ibid., hlm. 55. [46] Ibid., hlm.55. [47] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm 95. [48] Ibid., hlm 96. [49] Ibid., hlm 97. [50] Andre Uta Ujan, Filsafat Hukum (Kanisius, Yogyakarta, 2009), hlm.70. [51] Yavita A Mangesti dan Bernard L, Moralitas Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014) hlm. 32-33. [52]Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59. [53] Muh. Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 180-181. [54] W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm. 1119-120. [55] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, op.cit., hlm. 115-116. [56] Zulkarnain, “Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah,” http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1561/1/fh-zulkarnain.pdf ., diunduh 10 Maret 2016. [57] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cet.7 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 68. [58] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?, Cet.5 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm 48. [59] Rasjidi, Op.cit., hlm.70. [60] Ibid., hlm. 69. [61] Friedman. W., Teori & Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Muhammad Arifin, cet.2, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 61-62. [62] Rasjidi, Op.cit., hlm.70. [63] Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm.248. [64] Lili, Op.cit, hlm. 48. [65] Satjipto, Op.cit., hlm. 250. [66] Lili, Op.cit., hlm.71. [67] Lembaga Penelitian dan Kriminologi, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 4. [68] Rasjidi, Op.cit., hlm. 49. [69] Pdt. Dr. (HC). A. Ridwan Halim, Filsafat Hukum Indonesia dan Pragmatisasinya. (Angky Pelita Studyways, 2001), hlm. 30. [70] Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 66 – 67.[71] Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, op.cit., hlm. 126. [72] Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, op.cit., hlm. 126-127. [73] Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, op.cit., hlm.113. [74] Rahardjo, op.cit., hlm. 287. [75] Ibid, hlm. 288. [76] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit,, hlm.113. [77] Rahardjo, Op.Cit, hlm. 288 [78] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit, hlm.113 [79] Rahardjo, Op.Cit, hlm. 289-290 [80] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit, hlm.117 [81] Ibid, hlm.117 [82] Rahardjo, Op.Cit., hlm. 289 [83] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit., hlm.118 [84] Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, op.cit., hlm 68. [85] Darjin Darmodiharjo, op.cit., hlm. 135. [86] Ibid, hal. 141 [87] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya, 2004), hlm72-73 [88] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hlm. 142. [89] Ibid., hlm.142-143. [90] Ibid., hlm. 143. [91] Ibid., hlm.144-145. [92] Ibid., hlm. 46. [93] Ibid. [94] Hari Chand, Modern Jurisprudence (Kualalumpur: International Law Book series, 1994), hlm.244. [95] Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju,” (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2001), hlm. 29-30.
0 Comments
|
AuthorA struggling working mom and student ^^ Categories
All
|